Kantor Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Sumenep, Jl. KH Mansyur No. 71, Pabian, Kota Sumenep. (E-KABARI) |
SUMENEP, E-KABARI.com - Konsep Pentahelix yang diusung Bupati Sumenep Achmad Fauzi di tahun 2024 rupanya tak sepenuhnya dipahami oleh semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
Terbukti, dua OPD di Sumenep terlibat saling tuding. Padahal, dalam aplikasinya Pentahelix jelas mengedepankan konsep kolaborasi. Bahkan, melibatkan 4 unsur di luar Pemerintah.
Perkara saling tuding ini terjadi antara Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Sumenep dengan Dinas Pendidikan (Disdik).
Dugaan gagal pahami konsep Pentahelix oleh satu dari kedua OPD tersebut terungkap melalui sejumlah pewarta yang melakukan wawancara materi pendidikan terkait prestasi murid, kesejahteraan guru dan pembangunan gedung sekolah di Sumenep dalam dua tahun terakhir.
Sayangnya, konfirmasi wartawan ke Dinas Pendidikan Sumenep belum membuahkan hasil. Kendalanya, data yang dihimpun dinas terkait masih dalam proses tahapan validasi.
"Masih kami rampungkan dengan para bidang, waktunya lumayan lama. Sementara personel di sini masih sibuk ke kegiatan dinas yang lain," kata Kabid Pembinaan SD Dinas Pendidikan Sumenep, Ardiansyah Ali Shochibi, Rabu, 29 Mei 2024.
Para pewarta pun mengungkapkan, sederet materi yang hendak didapatkan itu merupakan penugasan publikasi dari Diskominfo Sumenep. Namun, Ardiansyah menyampaikan fakta yang mengagetkan bahwa OPD terkait tidak pernah berkoordinasi dengan dinasnya.
"Itu Diskominfo juga asal caplok tanpa koordinasi dulu ke sini. Itu konsep kita (Dinas Pendidikan, red) dan masih kami rapatkan dengan para bidang," tegas Ardiansyah.
Ardi menjelaskan, data yang dibutuhkan pewarta memang cukup memakan waktu, minimal satu bulan. Pasalnya, tim Disdik Sumenep harus turun langsung ke sejumlah sekolah.
Siapa sangka, penjelasan itu malah tak digubris oleh Diskominfo Sumenep. Malahan, pihak dinas menyarankan untuk materi pendidikan bisa dikonfirmasi ke OPD lain seperti Bappeda.
"Kan bisa ke Bappeda, tidak harus ke Dinas Pendidikan. Coba tulis soal SMA yang di Kalianget itu," kata Kabid Informasi dan Komunikasi Diskominfo Sumenep, Sujatmiko saat ditemui pewarta, Rabu, 29 Mei 2024.
Tak hanya itu, pria yang akrab disapa Miko tersebut kekeh mengklaim penugasan yang diberikan pada pewarta adalah idenya, bukan konsep milik Dinas Pendidikan Sumenep.
"Itu di kami, karya dan ide kami, bukan Dinas Pendidikan," tegas Miko.
Bukti lain OPD di Sumenep gagal pahami konsep Pentahelix gagasan Bupati Fauzi juga terjadi di Disbudporapar. Program dinas terkait dinilai amburadul karena tak melakukan kolaborasi dengan semua unsur Pentahelix.
Hal itu dibuktikan dengan sejumlah kegiatan atau event yang sudah berlangsung. Misalnya Festival Jaran Serek yang mendapat banyak kecaman dari beberapa pihak, termasuk DPRD Sumenep.
Ketua Komisi IV DPRD Sumenep Akis Jasuli mengkritik keras terkait event tersebut. Dia menyampaikan, ada banyak penyimpangan makna dari Festival Jaran Serek 2024.
"Jangan ada penyesatan dan pembodohan terhadap masyarakat terkait otentikasi kebudayaan dan tidak boleh ada distorsi historical culture," kata Akis, Ahad, 19 Mei 2024 lalu.
Akis menilai, penggunaan istilah dalam materi promosi Festival Jaran Serek tidak mencerminkan makna asli dari tradisi tersebut.
"Hal ini yang dapat menyesatkan masyarakat tentang otentikasi kebudayaan. Penggunaan istilah dalam materi promosi acara Festival Jaran Serek disebut-sebut tidak mencerminkan makna asli dari tradisi itu," kata Akis menegaskan.
Senada dengan itu, Budayawan Sumenep Tadjul Arifin R turut mengomentari Festival Jaran Serek yang digelar Pemerintah Daerah.
Tadjul menjelaskan, ada empat macam permainan kuda. Keempatnya adalah Teggharan, Jaran Serek, Jaran Kenca' dan Tandhang.
"Nah, yang biasa diselenggarakan Pemkab ini jenis Jaran Tandhang, bukan Jaran Kenca' maupun Jaran Serek," katanya.
Tadjul pun menjelaskan keempat jenis permainan kuda yang menjadi tradisi dari zaman dahulu.
Pertama, Teggharan. Yaitu adu lari cepat yang dilakukan sepasang-sepasang kuda untuk mencapai garis finish. Biasanya, Teggharan diperlombakan untuk memperebutkan juara 1, 2 hingga 3 pada berbagai kompetisi.
Kedua, Jaran Serek. Yaitu diperlombakan oleh dua pasang kuda mulai dari start hingga finish dengan cara didandani. Biasanya, Jaran Serek berjalan dengan cara Aserek atau Nyirek (berjalan ke samping kanan dan kiri) hingga garis finish.
Ketiga, Jaran Kenca'. Yaitu tradisi yang biasa dilakukan saat ada acara mantenan. Di mana, pengantin pria menaiki Jaran Kenca' hingga sampai di depan rumah pengantin wanita.
Saat perjalanan ke rumah sang pengantin wanita, kuda atau Jaran Kenca' terus berlenggak-lenggok (akenca') mengikuti irama Saronen (musik tradisional khas Madura).
Keempat, Jaran Tandhang. Yaitu kuda yang bisanya melakukan pertunjukan dengan berbagai gaya yang bermacam dan tak biasa (ale'pale', nyemba, akal pokal ban laenna).
Biasanya, kuda ini aktif menghibur masyarakat dalam acara khitanan, hajatan atau acara besar. Kuda jenis ini juga terlihat diam dalam satu tempat saja. Artinya, tidak berlari atau berjalan dengan batas yang ditentukan.
"Biasanya, yang digelar oleh Pemkab Sumenep itu adalah Jaran Tandhang, bukan namanya Jaran Kenca' atau Jaran Serek," tegas Tadjul.
Intinya, Budayawan Sumenep itu menilai Disbudporapar telah keliru dalam memaknai tradisi saat kuda dikompetisikan.
Kesalahan yang dijelaskan Tadjul tersebut juga menunjukkan tidak adanya kolaborasi dengan budayawan sebagai bagian dari 5 unsur dalam komsep Pentahelix dari sisi akademisi. (Rfq)