Ludruk Madura: Seni Pertunjukan dan Kuasa Ajhing (2) -->

Ludruk Madura: Seni Pertunjukan dan Kuasa Ajhing (2)

Minggu, 10 September 2023, 11:31 AM
loading...
Ludruk Madura: Seni Pertunjukan dan Kuasa Ajhing (2)
Ludruk Madura: Seni Pertunjukan dan Kuasa Ajhing (2). (Ilustrasi Ludruk/budaya-indonesia.org)

Oleh: Rafiqi*)

Sejauh ini secara umum tidak ada kepastian di mana asal kelahiran seni pertunjukan ini. Bahkan, banyak sumber menyebutkan, hingga kini belum didapat satu kepastian mengenai tempat asal kelahiran Ludruk. Usaha untuk menentukannya, kata sumber itu, bukan tak ada, namun selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama misalnya, mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang kedua menganggap bahwa Ludruk berasal dari Jombang. Kendati pada akhirnya umum dikenal dari Surabaya, kedua pendapat ini pun sama-sama kuat argumentasinya.

Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, embrio kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dan Desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar sebagai satu pertunjukan yang lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan tersebut. Keinginan itu pun terpenuhi, di mana alasan si lelaki memakai baju perempuan tersebut adalah untuk mengelabuhi anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut narasumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.

Narasumber lain menuturkan, kemunculan Ludruk bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang bernama Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita. Diceritakan bahwa Alim berasal dari daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya. Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya. Mereka bersama-sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”.

Kedua versi itu pun ternyata masih berbeda dengan pendapat Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya dan juga peniliti ludruk. Ia mengatakan, ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Diwek adalah kampung kelahiran Asmuni anggota Srimulat, dan Kholik pelawak anggota Depot Jamu Kirun.

Menurut versi ini, awalnya ludruk dimulai dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan iringan musik sederhana. Pak Santik yang berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir waktu itu berkeliling dari desa ke desa menampilkan kesenian tersebut. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret-coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata “Wong Lorek”. Akibat variasi dalam bahasa, maka kata “Lorek” berubah menjadi kata “Lerok”.

Ludruk dan Perkembangannya

Sementara itu, sebuah sumber menyebutkan perkembangan Seni Ludruk terjadi pada tahun 1931. Ketika itu, kata sumber ini, pementasan ludruk sudah mulai berbentuk sandiwara dan jumlah pemainnya pun mulai bertambah. Namun demikian, ciri khas dari ludruk yakni Ngremo, Kidungan, Dagelan dan Cerita (Lakon) tidak hilang karena tetap dipertahankan. Kemudian hingga pada tahun 1937, muncullah tokoh-tokoh baru dalam kesenian ludruk seperti Cak Durasim yang merupakan tokoh dari Surabaya. Oleh tangan beliau, Ludruk akhirnya menceritakan kisah Legenda dan dalam bentuk drama.

Menurut sumber lain, pada zaman ini (zaman Jepang) kesenian ludruk juga mulai berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Hal itu tampak terutama dalam ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan parikan “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara”. Dengan parikan serupa itu, Cak Durasim akhirnya berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang, sehingga pada akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang.

Hingga pada zaman kemerdekaan, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, pada masa republik ini fungsi ludruk sudah mengalami pergeseran. Jika pada masa sebelumnya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa itu fungsinya bergeser menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi oleh sponsor tertentu. Di zaman itu, sebuah barang dagangan tertentu sudah biasa melakukan promosi melalui ajang pagelaran ludruk.

Sedangkan Peacock (1967a: 44) dalam Helene Bouvier, dalam sebuah studi lapangannya menulis bahwa Tjak Gondo Durasim atau Cak Durasim merupakan orang yang pertama kali menciptakan pertunjukan drama lengkap dengan berbagai tokoh berbeda dari cerita yang ditampilkan sebelumnya pada cerita Ludruk Besut. Bahkan menurut penelitian itu, bentuk ludruk di sekitar akhir 30-an tersebut, dipentaskan secara lengkap di dalam gedung teater komersial seperti Taman Hiburan Rakyat dan berlangsung dari pukul 20.00 malam sampai lewat pukul 24.00 malam.

Di dalam perkembangannya, secara umum seni ludruk merupakan persatuan dari empat unsur elemen yang tak dapat di pisahkan yang disebutkan di atas, yaitu Ngremo, Kidungan, Dagelan dan Cerita (Lakon). Sebagian cerita yang di tampilkan dalam seni ludruk biasanya membawakan cerita rakyat. Meski juga terdapat cerita lain seperti cerita perjuangan pahlawan, menurut sumber ini, kelaziman itu terjadi karena rakyat merupakan unsur historis yang sangat kental dalam cerita ludruk itu sendiri.

Bersambung….

*) Artikel ini pernah dimuat di Tabloid Mata Sumenep Edisi 22 Februari 2016

TerPopuler