Ilustrasi Puisi-puisi AA Nisa | Rindu Dendam, Kesumat. (Revenge by sidewinderz/Shutterstock) |
Rindu Dendam
Rindu ini memukul-mukul dada
seperti angin malam yang liar
menghembus pada pohon-pohon tanpa suara.
Aku terperangkap dalam diam,
membawa rindu pada api yang tak pernah padam.
Wajahmu menjelma kabut
di antara mimpi-mimpi yang suram.
Aku mencarinya dalam gelap,
namun bayangmu selalu menjauh
seperti waktu yang tak pernah peduli.
Seperti kapal kehilangan dermaga,
aku terombang-ambing di lautan rasa.
Rindu yang mengental menjadi dendam,
tak pernah selesai, tak pernah usai
seperti hujan yang tertahan di tepi langit.
Lelah, aku merayu pada bulan
meminta terang di antara luka.
Namun bulan pun hanya tersenyum sinis,
meninggalkan aku dalam kesunyian
yang menggema di setiap napas.
Kau adalah bayang yang tak mau hilang,
mengejar hingga ke dasar jiwa.
Aku berlari namun terikat pada jarak,
tersangkut pada rantai kenangan
yang tak pernah benar-benar usai.
Ada dendam dalam rinduku,
seperti api yang terbakar oleh amarah.
Aku ingin menghancurkan segalanya,
namun yang kuinginkan hanyalah kau
datang kembali, meredakan badai.
Setiap langkah kaki terasa hampa
tanpa bayangmu di sisiku.
Rindu ini menggali liang
tempat aku tenggelam dalam sunyi
yang tak mengenal akhir.
Rindu ini bukan hanya sekadar ingatan,
ia adalah palu yang menghantam dada.
Aku terseret dalam arus dendam
yang semakin pekat dan liar,
mengisi setiap celah sepi.
Kau dan aku,
dua kutub yang tak bersentuhan
namun saling menarik tanpa henti.
Aku ingin membebaskan diri,
namun semakin ku lepas, semakin ku terikat.
Dan akhirnya, aku menunggu dalam diam
seperti senja yang tak pernah datang.
Rindu ini tak terucapkan,
dendam ini tak terobati—
seperti kisah yang tak pernah kita akhiri.
Sumenep, 2024
Kesumat
Kesumat merayap dalam hati yang sunyi,
seperti ular, ia bersembunyi di balik gelap.
Mataku memandang jauh, tetapi tertutup kabut.
Aku menunggu balas dendam yang perlahan mendidih.
Kau pikir aku diam, lemah dalam terpekur,
padahal aku menyimpan bara, memendam marah.
Seperti malam yang menyimpan hujan,
segala dendam menanti waktu untuk menetas.
Langit kelam menyaksikan janji yang kuikat pada luka,
tidak ada kata maaf di antara puing-puing janji yang retak.
Kata-kata lembut tak lagi bergema di telingaku,
hanya suara retak yang mengantar nafas kemarahan.
Kesumat ini lebih dalam dari lautan,
mengakar pada jantung, menyayat daging.
Ia bukan sekadar emosi yang lewat,
tapi takdir yang mengendap, yang tak akan luntur.
Seperti karang yang tak tergoyahkan ombak,
aku tak akan menghapus dendam ini dengan air mata.
Darah adalah harga yang dituntut oleh langit,
dan darah pula yang akan menyelesaikan semuanya.
Aku tidak perlu bicara,
kesumat ini sudah bicara dalam diamku.
Setiap helaan napas adalah penantian,
setiap langkah adalah sebuah keinginan yang tertahan.
Matahari mungkin terbit,
tetapi dalam hatiku tak ada terang.
Hanya kegelapan yang semakin mengeras,
seperti batu karang di lautan waktu.
Kau tak tahu bagaimana api ini menyala,
dalam sunyi, dalam malam,
tapi tak bisa dipadamkan dengan bisikan manis.
Ini adalah dendam yang terlahir dari kebisuan.
Kesumat tak pernah lelah,
ia terus merayap, mendesak, mencakar jiwa.
Aku tahu waktuku akan datang,
dan saat itu, tidak ada yang tersisa kecuali kehancuran.
Jangan bicara tentang damai,
karena ini bukanlah perang yang akan selesai.
Kesumat adalah api yang menyala dalam kegelapan,
tak ada angin yang bisa memadamkannya.
Sumenep, 2024
---
AA Nisa, lahir dan besar di Yogyakarta. Menetap di Sumenep sembari belajar memerangkap setiap kata dan peristiwa ke dalam sajak.