Karena Aku Mencintaimu | Cerpen Arina M. (Ilustrasi/Pngtree) |
Hujan selalu menjadi latar bagi segala penyesalan. Langit yang kelabu seolah menjadi cermin hati manusia yang dihempas rasa bersalah. Setiap tetesnya mengingatkan Bagas pada dosa yang tak terhapus. Malam itu, di bawah rinai yang menderas, Bagas berdiri di depan rumah sederhana milik Desi, seorang wanita yang seharusnya tak pernah ia dekati.
Desi adalah istri orang. Sama seperti Bagas yang sudah menikah dan memiliki dua anak. Pertemuan mereka pertama kali di sebuah kafe dekat kantor, tanpa sengaja bertukar pandang di sela-sela hiruk-pikuk rutinitas. Sesuatu dari dirinya menarik perhatian Bagas—senyuman kecil yang tertahan, tatapan mata yang seolah menyimpan ribuan rahasia.
Awalnya hanya basa-basi biasa. "Bagaimana cuaca hari ini?" atau "Apa kopi favoritmu?" Kalimat-kalimat sederhana itu akhirnya merentangkan jembatan yang tak pernah Bagas duga akan ia lalui. Desi, dengan segala pesonanya, perlahan masuk ke dalam pikirannya, ke dalam hidupnya, tanpa bisa dihindari.
Waktu berlalu, pertemuan yang sering menjadi pertemuan yang direncanakan. Bagas tahu ada yang salah. Rasa bersalah menggelayuti hatinya setiap kali ia pulang ke rumah, bertemu dengan istrinya, Ratna, yang selalu menyambutnya dengan hangat. Namun, di sudut pikirannya, Desi terus menghantui.
Hubungan mereka pun semakin dalam. Dari kafe ke restoran, dari pesan singkat menjadi telepon panjang di tengah malam. Bagas merasa semakin tak bisa lepas dari jeratan Desi. Setiap kali mereka bertemu, ada magnet yang lebih kuat dari sekadar rasa bersalah atau kewajiban.
Hingga malam itu, saat hujan turun deras di luar jendela, di sebuah kamar hotel yang remang-remang, semuanya berubah. Tubuh Bagas dan Desi terjerat dalam dosa yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tak ada kata, hanya desahan, dan Bagas tahu, ia telah melangkah terlalu jauh.
Ketika segalanya selesai, keheningan yang menyesakkan tiba-tiba menyelimuti mereka. Desi hanya memandang ke luar jendela, matanya basah oleh air mata yang tak bisa dia tumpahkan. "Bagas, apa yang kita lakukan ini salah," bisiknya pelan, namun sudah terlambat. Jauh terlambat.
Bagas pulang dengan perasaan teriris-iris. Ratna masih terjaga di ruang tamu, menonton televisi, menunggunya pulang seperti biasa. Namun kali ini, tatapannya seolah menembus seluruh dosa yang Bagas sembunyikan. Tapi ia tidak bertanya. Ia hanya tersenyum tipis dan berkata, "Kamu pasti lelah, mari istirahat."
***
Waktu berlalu seperti biasa, tapi tidak ada yang biasa lagi dalam hidup Bagas. Setiap ia menatap anak-anaknya, setiap ia melihat Ratna, rasa bersalah itu semakin menumpuk. Setiap hujan yang turun, setiap malam yang sunyi, semuanya mengingatkan pada dosa yang pernah ia lakukan.
Desi juga mulai menjauh. Mungkin karena rasa bersalah yang sama, atau mungkin karena kesadaran bahwa hubungan mereka tak mungkin berlanjut. Mereka berhenti berkomunikasi. Namun luka yang telah terbentuk di hati Bagas tetap menganga.
Hingga suatu hari, saat ia sedang duduk di ruang tamu bersama Ratna, teleponnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Desi, "Aku tidak tahan lagi. Aku harus bicara." Bagas tahu ini adalah awal dari kehancuran yang lebih besar, tapi ia tidak bisa menolak.
Mereka bertemu di sebuah taman yang sepi. Desi tampak lebih pucat dari biasanya, matanya merah dan sembab. "Aku sudah bercerita pada suamiku," kata Desi tanpa basa-basi. "Dia tahu semuanya, dan dia ingin bertemu denganmu."
Dunia Bagas seakan runtuh. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana menghadapi suami Desi, seorang pria yang selama ini ia khianati tanpa ia kenal. "Aku mohon, jangan lakukan ini, Desi. Aku punya keluarga, begitu juga kamu. Kita bisa menghentikan ini di sini."
Tapi Desi hanya menggeleng. "Aku tidak bisa lagi menyimpan ini, Bagas. Aku tidak bisa lagi berpura-pura. Suamiku berhak tahu, sama seperti istrimu." Kata-katanya bagai pisau yang menusuk dalam-dalam ke hati Bagas.
Pertemuan dengan suami Desi terjadi di sebuah restoran, tempat yang sama di mana dulu mereka sering bertemu secara sembunyi-sembunyi. Kali ini suasananya jauh berbeda. Suami Desi, bernama Dedi, tampak tenang, namun di balik ketenangan itu ada kemarahan yang terpendam.
"Aku tidak ingin membuat keributan," ujar Dedi setelah menyesap kopinya. "Aku hanya ingin mendengar dari mulutmu, Bagas. Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan istriku?"
Bagas ingin berbohong, ingin mengelak, tapi ia tahu, itu tak mungkin lagi. "Aku sudah salah. Aku… kami bersalah," jawab Bagas lirih, suaranya nyaris tak terdengar. Hatinya berdebar-debar, menunggu reaksi dari Dedi.
Dedi hanya mengangguk pelan. "Aku sudah tahu semua. Desi sudah bercerita. Aku hanya ingin tahu apa yang akan kamu lakukan sekarang." Ada keheningan sejenak sebelum Dedi melanjutkan, "Apakah kamu akan jujur pada istrimu? Atau kamu akan tetap berpura-pura?"
Bagas terdiam. Ia ingin melupakan semuanya, kembali ke kehidupannya yang semula, tapi ia tahu itu tak mungkin lagi. Luka ini terlalu dalam, terlalu jelas. "Aku akan mengaku. Aku tidak bisa lagi hidup dalam kebohongan."
Ratna adalah wanita yang kuat, namun Bagas tahu, kebenaran ini akan menghancurkannya. Hari itu, ketika ia pulang dan duduk berdua dengan Ratna, ia mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk berkata, "Aku punya sesuatu yang harus aku akui."
Ratna memandangnya dengan tenang, seolah sudah mengetahui semuanya. "Aku tahu, Bagas," katanya pelan. "Aku tahu dari dulu. Aku hanya menunggu kapan kamu akan jujur."
Dunia Bagas kembali runtuh. "Kenapa kamu tidak pernah bertanya? Kenapa kamu tetap bersikap seolah semuanya baik-baik saja?"
Ratna tersenyum pahit. "Karena aku mencintaimu. Aku pikir, kamu akan kembali dengan sendirinya. Aku berharap, kamu akan sadar tanpa aku harus memaksamu."
Air mata mulai mengalir di pipi Bagas. "Maafkan aku, Ratna. Aku telah mengkhianatimu. Aku tidak pantas mendapatkan pengampunanmu."
Ratna hanya menggeleng. "Maaf memang tidak selalu cukup. Tapi aku memilih untuk memaafkanmu, karena aku tidak ingin hidup dalam kebencian. Namun, aku juga tidak tahu apakah aku bisa melupakan ini semua."
***
Hari-hari setelah pengakuan itu terasa hampa bagi Bagas. Ratna tetap di sampingnya, namun ada jarak yang tak lagi bisa dijembatani. Anak-anak mereka tidak pernah tahu, dan Bagas bersyukur untuk itu. Namun, bayangan dosa itu terus menghantui setiap langkahnya.
Desi, di sisi lain, memutuskan untuk pindah bersama suaminya. Mereka berusaha memperbaiki hubungan yang retak, sama seperti Bagas yang kini mencoba memperbaiki keluarganya. Tapi luka yang ditinggalkan dosa itu tak pernah sepenuhnya sembuh.
Bagas sering kali berdiri di bawah hujan, membiarkan tetes-tetes air membasahi tubuhnya, seolah berharap dosa itu bisa tersapu pergi bersama hujan. Tapi ia tahu, dosa tidak bisa hilang semudah itu.
Di antara tetesan hujan, Bagas menemukan bahwa maaf adalah hal yang rumit. Ratna mungkin sudah memaafkannya, tapi Bagas belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Setiap malam, ketika ia memejamkan mata, bayangan Desi dan dosa mereka kembali menghantui.
Ia belajar bahwa dosa bukanlah sesuatu yang bisa dilupakan begitu saja. Meskipun ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Ratna, meskipun ia berusaha menjadi ayah yang lebih baik, luka itu tetap ada, membekas seperti guratan di dalam hatinya.
Di bawah hujan, Bagas tahu, maaf yang ia cari bukan hanya dari Ratna, bukan hanya dari Desi, tapi dari dirinya sendiri. Dan itu, adalah maaf yang paling sulit didapatkan.***
---
Arina M, belajar menghimpun cerita ke dalam kata. Kini bergiat di Komunitas Bisa Menulis.