Bansos Diratakan agar Terlihat Dermawan -->

Bansos Diratakan agar Terlihat Dermawan

Minggu, 04 Desember 2022, 12:19 PM
loading...
Bansos Diratakan agar Terlihat Dermawan
Ilustrasi. (klikhukumid/RK/E-KABARI)


Oleh: Mahmudi*)


Tak asing di telinga sosok Sengkuni dalam cerita Mahabharata. Seorang yang diceritkan sebagai seorang pengadu domba yang sangat lihai, yang bisa menimbulkan perpecahan di antara keluarga, sehingga terjadi perang Bharatayuda antara pihak Pandawa dan Kurawa. Dengan kelincahannya menghasut, tidak sedikit orang yang percaya dan terpengaruh dengan bualan yang ia ucapkan.


Tidak jauh berbeda dengan adanya program Bantuan Sosial (Bansos) yang pemerintah jalankan hampir 4 tahun ini. Sudah bukan hal tabu program tersebut adalah cara dari pemerintah dengan tujuan mengentaskan kemiskinan, sehingga dengan program itu warga yang masih di bawah angka kemiskinan akan terkurangi bebannya.


Namun penulis rasa program Bansos tersebut tidaklah sesuai dengan apa yang pemerintah harapkan. Misalnya di tempat saya, bantuan sosial itu malah menjadi "Sengkuni" bagi warga. Bukan tanpa alasan penulis samakan program Bansos dengan Sengkuni. Diantaranya karena banyak bantuan yang salah sasaran dalam penyalurannya, bahkan ada yang ditahan kartu dan berkas-berkas penerima dengan alibi pemerataan.


Faktor yang pertama menjadi yang paling kompleks, apalagi di pedesaan. Misal, ada yang punya mobil dan rumah mewah malah dapat bantuan sosial. Sedangkan yang tidak punya apa-apa dan rumahnya mau ambruk malah tidak dapat bantuan apapun.


Akibat praktik yang demikian, banyak statment negatif dari masyarakat. Mulai dari karena si A dekat dan kerabat dari pemerintah daerah dan banyak stantment lainnya.


Terlepas dari itu, alibi pemerataan yang menyebabkan kartu dan berkas-berkas ditahan menurut hemat penulis bukanlah suatu cara yang efisien diterapkan. Sebab sebagaimana dijelaskan di atas, tujuan adanya bantuan sosial adalah untuk mengurangi beban dan mengentaskan kasus kemiskinan. Sehingga apabila hak dari orang miskin masih disisihkan untuk mereka yang bukan penerima manfaat, penulis rasa hanya akan menjadi masalah tambahan.


Pasalnya dengan praktik tersebut, spekulasi dan tindakan penggelapan akan lebih besar kemungkinannya. Misalnya, di salah satu desa memiliki jumlah warga 100 orang, dengan perincian 40 orang mendapat bantuan sebanyak 900 ribu, lalu dibagikan hanya 200 ribu dengan alasan pemerataan, maka ada 30% dana yang digelapkan pemerintah.


Bansos disamaratakan agar terlihat dermawan. Padahal, ada permainan di dalam upaya mengentaskan kemiskinan itu dengan alibi pemerataan kepada mereka yang tak terakomodir bantuan karena kuota pas-pasan.


Dari berbagai disiplin aplikatif yang terjadi, dapat disimpulkan bahwa pemerintah masih belum bisa serius menyalurkan bantuan sosial. Walau banyak upaya untuk mensingkronkan data penduduk terdampak, misalnya Oktober lalu ada Registrasi Sosial dan Ekonomi (Regsosek) yang menghabiskan banyak anggaran, namun penulis rasa apapun upaya yang dicanangkan hanya akan menjadi mimpi indah yang tidak pernah terjadi.


Bagaimana tidak, jika daerah dan pedesaan masih dipimpin oleh mafia-mafia yang rakus dan kelaparan. Apalagi jika mereka yang seharusnya menindak malah menunduk di hadapan rupiah dan lobi-lobi kursi jabatan. Sungguh sangat miris.


Kiranya perlu ada sikap independen dan kesesuaian dalam upaya pembenahan ini, baik dari pemerintah yang harus sadar bahwa yang mereka makan adalah bagian dari hak orang yang kelaparan, maupun masyarakat yang juga harus sadar bahwa mereka punya hak pula untuk menagih dan menyuarakan apa yang harusnya mereka miliki. Sebab, ungkapan "Adil harus sama rata" adalah ungkapan pembodohan yang nantinya akan membunuh pribadi dan kekritisan berpikir.


*) Penggerak Gerakan Humanisme

TerPopuler