Ilustrasi. (RK/E-KABARI) |
Oleh: Moh. Busri*
Persoalan garam di Pulau Madura sampai hari ini masih belum usai diperbincangkan lantaran pihak PT. Garam yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kurang serius menyikapi masalah yang terjadi, lebih-lebih di Kota Sumenep yang menjadi tempat kantor PT. Garam itu sendiri. Terbukti, sejak awal kemarau tahun ini para petani mengawali garapan ladangnya dengan rintihan yang masih berlangsung hingga saat ini. Entah apakah pihak pemerintah telah buta dan tuli akan nasib rakyatnya. Padahal pada dasarnya di meja pemerintah itulah nasib rakyat harus mampu diselesaikan.
Rintihan dan keluhan dari para petani garam terus-terusan berlangsung di sepanjang hari. Garam yang mereka produksi kesulitan untuk dipasarkan, ditambah lagi pihak PT. Garam terasa enggan untuk menyerapnya. Permasalahan itu mengundang banyak sekali perhatian, baik dari kalangan para petani itu sendiri, mahasiswa, bahkan juga anggota DPR juga ikut prihatin. Namun, entah bagaimana yang sebenarnya terjadi. Sehingga, pihak PT. Garam benar-benar buta dan tuli untuk menyikapi masalah tersebut.
Dikutip dari berita updatejatim (3 September 2020), ternyata persoalan ini membuat salah satu anggota DPRD Sumenep angkat bicara. Dalam berita tersebut, salah satu wakil rakyat Sumenep mewanti-wanti pihak BUMN yang berkantor di Kecamatan Kalianget itu untuk menyerap garam hasil produksi para petani semaksimal mungkin. Sebab jika persoalan ini tidak segera diselesaikan, maka petani akan terus menerus menjerit dengan penderitaannya karena tidak diindahkan.
Untuk sementara informasi yang didapat dari Humas PT. Garam menyampaikan bahwa pihak perusahaan masih menunggu keputusan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika keputusan tersebut belum diturunkan, maka penyerapan juga tidak bisa dilakukan.
Pertanyaannya, sampai kapan nasib rakyat akan terus digantungkan pada ketidakpastian. Belum lagi PT. Garam juga menjadi lawan saing bagi para petani, sebab perusahaan yang biasanya dijadikan tempat pelarian bagi para petani juga dijadikan tempat untuk menyerap garam hasil produksi milik PT. Garam. Sungguh sangat ironis dan dramatis, BUMN yang seharusnya menjadi wadah bagi rakyat ternyata saat ini menjadi lawan tanding bagi rakyat.
Sementara dilansir dari timesindonesia (8 September 2020) ternyata rakyat juga sempat mengemis pada Direktur PT. Garam yang baru untuk segera menyikapi persoalan ini dengan menyediakan terobosan baru. Tidak banyak sebenarnya yang harus dilakukan oleh pihak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini, cukup dengan menyeimbangkan antara mengimpor garam dari luar dan menyerap garam lokal. Jika dipersentasekan, hari ini pemerintah lebih banyak mengimpor garam luar daripada menyerap garam lokal, sehingga akibatnya garam lokal menjadi sulit terserap.
Mengutip dari artikel hasil penelitian yang dilakukan oleh Mirtha Firmansyah, Dewi Junita Koesoemawatib, dan Ivan A Farizkha, menunjukkan bahwa Kabupaten Sumenep merupakan salah satu penyumbang produksi garam terbesar di Jawa Timur. Kabupaten Sumenep memiliki luas daratan sebesar 209345,8 hektar, sedangkan penggunaan lahan yang digunakan untuk tambak Garam sebesar 3.067 hektar. Jadi, sekitar 3,86 % dari luas total daratan kabupaten Sumenep.
Harusnya potensi ini dapat dilihat oleh pemerintah untuk benar-benar dimanfaatkan guna memakmurkan rakyat Sumenep. Namun, faktanya yang terjadi berbanding arah 90°. Mengapa saya berani katakan demikian? Sebab, hari ini pemerintah seakan main-main untuk mencari solusi dari sengsaranya rakyat yang kesulitan mengeluarkan hasil produksi garamnya. Secara jelas dapat dilihat bahwa Humas PT. Garam tidak mampu menyampaikan statement yang cukup jelas terkait dengan solusi yang akan dilakukan, melainkan malah memberikan harapan yang sifatnya menggantung nasib rakyat.
Belum lagi kondisi Corona saat ini telah memekik ekonomi masyarakat di tengah hasil produksi garam sulit dikeluarkan gara-gara tidak ada sikap jelas dari pihak PT. Garam. Penggarapan garam tersebut secara jelas membutuhkan modal yang sangat besar, dan harapan terakhirnya bertumpu pada laba dari hasil garamnya yang telah laku. Namun hari ini bukan hasil yang didapatkan, melainkan rugi yang berlipat-lipat. Salah satu petani mengeluhkan hal tersebut, yaitu dari sejak penggarapan hingga panen semua terselesaikan menggunakan rupiah. Namun ternyata setelah sampai pada puncaknya bukan hasil yang didapat, melainkan modal yang mereka tanam juga ikut terhanyut.
Sangat benar yang dikatakan oleh Soekarno bahwa perjuangan bangsa Indonesia di kemudian hari akan lebih rumit daripada masa penjajahan terdahulu. Sebab, nantinya bangsa Indonesia akan berperang sesama bangsanya dan bukan lagi melawan penjajah. Sama halnya dengan semua itu, yaitu bangsa Indonesia telah berani menjual kemakmuran bangsanya sendiri untuk memenuhi kepentingannya pribadi. Maka bagi saya hanya satu kata yang pantas, tuntaskan!!!! Tuntaskan masalahnya, dan tuntaskan konflik korporasi kepentingannya.
Gus Dur pernah mengatakan bahwa ada yang lebih penting dari politik, yaitu kemanusiaan. Oleh sebab itu, dirinya tidak pernah keberatan melepas jabatannya sebagai presiden asalkan kamanusiaan bangsa Indonesia tetap terjaga. Uang memang telah membutakan manusia, sehingga lupa akan kiprahnya sebagai mahluk sosial. Thomas Hobbes menyatakan teori homo homoni lupus sebagai cerminan kehidupan hari ini bahwa manusia memang telah menjadi srigala bagi sesama manusianya. Manusia akan menikam bangsanya sendiri guna mendapatkan kepentingannya sendiri.
Sama halnya dengan polemik ini, saya rasa bukan tanpa alasan pihak PT. Garam tidak terlalu menyikapi rintihan para petani garam. Hal itu sangat dimungkinkan karena tidak selaras dengan kepentingan yang diinginkan oleh pihak pemodal, sehingga sampailah kita pada dunia kapitalisme. Jadi, cukup mudah bagi kita untuk menarik kesimpulan dari polemik ini; yaitu jika persoalan ini tidak segera terselesaikan, maka sebenarnya kita sedang berada di bawah pimpinan para Srigala.
*Penulis adalah Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI), beralamat di Matanair, Rubaru, Sumenep. Aktif di PMII sekaligus Pimpinan Umum LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep Periode 2020-2021.