loading...
Bamsoet di Kopi Johny. [Foto Ist/detik.com] |
"Pasal yang dikritisi masyarakat misal Pasal 122, 245, dan 73 ada lima pasal ya. Ya, itu semua menyangkut apa yang kita jalani, sulit misalnya bagaimana, kalau kita DPR tidak memiliki kekuatan UU yang bersifat memaksa terhadap pemerintah atau para mitra kami bertugas pengawasan, legislasi, dan anggaran kalau posisi tidak kuat bagaimana kami bisa mengawasi? Kalau yang diawasi lebih kuat DPR tidak bisa apa-apa," kata Bamsoet di kopi Johny, di Jl Kelapa Kopyor, Jakarta Utara, Minggu (18/3/2018) kemarin.
Ia mencontohkan misalnya DPR ingin mengklarifikasi pihak pemerintah terkait aduan warga. Namun jika pihak yang dipanggil tidak datang, DPR tidak dapat melakukan apapun. Dengan berlakunya pasal tersebut di UU MD3, DPR dapat melakukan pemanggilan paksa.
"Dalam perjalanan yang kita laksanakan beberapa tahun ini, masalah yang timbul justru ketika pemerintah dipanggil tidak hadir apakah kena sanksi? Tidak ada. Ketika rakyat mengadukan tanahnya diserobot, ada ketidakadilan, kemudian kami panggil pemerintah tidak datang. Bisa apa DPR? Tidak bisa apa-apa. Jadi kami butuh UU yang bisa memaksa agar beliau datang. Itulah inti dalam UU MD3 panggil paksa," kata Bamsoet.
Ia menambahkan, sebenarnya UU MD3 sebelumnya telah mengatur terkait pemanggilan paksa terhadap pihak yang dipanggil. Namun saat itu belum ada kalimat mewajibkan bagi polisi.
"Tapi dalam sejarah panggil paksa di DPR ini, ini panggil paksa bukan baru ada tapi sejak ada UU MD3 sudah ada panggil paksa, dicantumkan pun tidak datang. Karena apa? Karena panggil paksa mekanismenya apa. Nah makanya kita tambahkan, polisi wajib melaksanakan permintaan DPR. Jadi kata wajib itulah hal yang baru dalam UU itu," kata Bamsoet.
Bamsoet mengatakan sebenarnya dalam konteks itu berlaku pemanggilan paksa untuk pemerintah atau kepala lembaga. Akan tetapi pasal yang baru disahkan itu dapat menjerat siapa saja yang dipanggil DPR, sehingga menurutnya 'siapa saja' itu lah yang harus diubah MK.
"Bunyi UU sebetulnya bagi pemerintah, kepala lembaga wajib hadir bila dipanggil DPR tapi kemudian diubah oleh pemerintah menjadi 'siapa saja' itulah yang memang harus direvisi oleh MK, harus dikembalikan ke bunyi asalnya," kata Bamsoet.
Sedangkan bagi anggota DPR yang 3 kali tidak datang rapat paripurna akan diperiksa oleh Dewan Etik DPR. Ia mencontohkan ada seorang anggota dewan yang mendapat sanksi ringan yaitu mutasi ke bagian lainnya dari Komisi III karena tiga kali tidak menghadiri rapat paripurna.
"Baca UU-nya ada anggota DPR yang digeser posisinya karena kena sanksi ringan dia harus pindah dari alat kelengkapan dewan yang dia duduki. Misalnya saya di Komisi III saya tiga kali berturut-turut tidak hadir, saya disidang oleh MKD sanksi ringan harus pindah. Kalau sanksi berat baru diberhentikan. Sama seperti wartawan, kita punya imunitas, kita punya kode etik, kita punya Undang-Undang," kata Bamsoet.
Sebelumnya, DPR melalui rapat paripurna mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD). Di dalamnya, terdapat sejumlah pasal kontroversial. saah satunya Pasal 73 UU MD3.
Pasal 73 UU MD3 mengatur tentang pemanggilan pihak-pihak ke DPR. Dalam ayat 4 huruf b Pasal 73 UU MD3, Polri disebut wajib mengikuti perintah DPR untuk memanggil paksa. Bahkan, di ayat 5, Polisi disebut berhak melakukan penahanan.
Sumber: detik.com